
Foto Merebus Ketupat - Istimewa
Oleh: Rapi, S.Pd – Guru Penulis dari Habang
Lebaran bukan hanya tentang kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Di Bangka Selatan, ada satu tradisi yang menambah kekayaan makna menyambut Idulfitri, yaitu Ari Ngerebuh Ketupat (Hari merebus ketupat) yang dilakukan sehari menjelang Hari Raya. Tradisi ini bukan sekadar urusan dapur, tetapi menjadi simbol kesiapan menyambut hari suci dengan hati bersih dan penuh kegembiraan.
Ketupat: Simbol Kehidupan dan Kesucian
Dalam budaya Melayu Bangka, ketupat lebih dari sekadar makanan. Ia adalah simbol dari hati yang dibungkus oleh kesalahan, yang setelah direbus dalam tempaan Ramadan, menjadi matang dan bersih. Merebus ketupat adalah ritual yang sarat makna: mengikat janji pada diri sendiri untuk menjadi insan yang lebih baik dan saling memaafkan.
Masyarakat di desa-desa Bangka Selatan, dari Pongok hingga ke Simpang Rimba, mulai merebus ketupat pada hari terakhir puasa, biasanya pagi hingga malam hari. Aroma wangi janur (daun kelapa muda) dan nasi yang dimasak meresap di udara, membawa nuansa kehangatan keluarga. Anak-anak membantu menganyam janur, ibu-ibu menyiapkan lauk khas seperti opor ayam, rendang, atau gulai ikan tenggiri, dan para bapak mempersiapkan rumah untuk menyambut tamu.
Puasa Terakhir: Penutup yang Penuh Harap
Hari terakhir Ramadan tidak kalah istimewa. Ia adalah penutup yang penuh harap, seperti titik akhir pada sebuah doa panjang. Banyak umat Islam di Bangka Selatan yang memperbanyak ibadah, tadarus, dan doa di hari ini. Mereka sadar bahwa mungkin ini adalah Ramadan terakhir, dan karenanya perlu diakhiri dengan khidmat.
Suasana haru dan syukur menyelimuti hati. Anak-anak mulai berlatih takbir, masjid-masjid bersolek, dan jalan-jalan mulai dipenuhi oleh pedagang pakaian dan kue lebaran. Tapi di tengah hiruk-pikuk itu, Hari ngerebus ketupat menjadi penyeimbang, ritual sunyi yang berbicara tentang keluarga, tradisi, dan spiritualitas.
Melestarikan Tradisi, Menguatkan Identitas
Tradisi ngerebuh ketupat tidak boleh hilang ditelan zaman. Ia adalah bagian dari jati diri masyarakat Bangka Selatan. Dalam setiap kepal ketupat tersimpan nilai: gotong royong, kekeluargaan, kesabaran, dan kesadaran akan siklus kehidupan yang terus berputar.
Sebagai penulis dan pewaris budaya lokal, kita punya tanggung jawab untuk tidak hanya menulis tentangnya, tapi juga menghidupkannya di tengah keluarga dan masyarakat. Menjaga tradisi bukan berarti anti-modernitas, tapi menempatkan akar budaya sebagai fondasi dalam menghadapi arus zaman.
Ari ngerebuh ketupat dan puasa terakhir sebelum lebaran adalah dua sisi dari koin yang sama: simbol kesiapan lahir dan batin untuk menyambut hari kemenangan. Dari desa hingga ke kota, di Bangka Selatan tradisi ini menyuarakan pesan universal: bahwa Idulfitri bukan hanya tentang baju baru, tapi tentang hati yang kembali suci, keluarga yang kembali hangat, dan budaya yang terus hidup.