
Ilustrasi Matpluntang
Di Desa Tanjung Gudang, ada seorang pria bernama Matpluntang. Nama itu bukan nama asli, tapi julukan yang melekat kuat karena kepribadiannya yang unik dan jahil, suka mengganggu, namun anehnya selalu dirindukan.
Matpluntang adalah pria paruh baya dengan wajah bersahaja, rambut ikal panjang sebahu, dan tawa lebar yang mudah pecah kapan saja. Siapa pun yang pernah berinteraksi dengannya akan sadar bahwa tak ada hari tanpa kejahilan darinya. Bila ada yang menanyakan nomor HP-nya, pasti akan dikasih nomor palsu, atau malah nomor kepala desa. Kalau ada temannya dari kota pulang kampung, langsung dijebak untuk ikut “piknik” yang ternyata adalah kerja rodi mencangkul kebun.
Pernah suatu ketika, Yanto, temannya yang bekerja di kantor pajak, pulang kampung karena cuti. Dengan polosnya Yanto bertanya, “Pluntang, di sini bisa refreshing ke mana ya?”
Matpluntang menjawab cepat, “Wah, paling enak itu ke Bukit Kepoh. Anginnya enak, pemandangan indah.”
Tanpa curiga, Yanto ikut saja. Baru sadar setelah satu jam berjalan kaki dan dua jam mencangkul singkong, barulah ia sadar: itu bukan piknik, tapi ikut panen.
Namun anehnya, tak seorang pun marah pada Matpluntang. Bahkan sebaliknya, mereka selalu tertawa setelah dikerjai. “Ah, itu si Pluntang. Dasarnya jahil,” begitu kata mereka.
Matpluntang punya sesuatu yang tak semua orang miliki: kejahilan yang justru mendekatkan, bukan menjauhkan. Ia tahu batas, tahu kapan berhenti, dan selalu menebus kejahilannya dengan cara yang tidak banyak diketahui orang.
Di balik kelakuannya yang suka mengusili orang, Matpluntang diam-diam adalah penolong sejati.
Malam itu, ketika warga tertidur lelap, Matpluntang menggendong sekarung beras ke rumah Bu Wati, janda tiga anak yang suaminya baru saja meninggal. Tanpa suara, dia menaruh beras itu di depan pintu. Keesokan paginya, Bu Wati menangis saat menemukan beras tersebut, tak tahu dari siapa, tapi sangat membutuhkannya.
“Entah siapa yang baik hati seperti ini,” ucap Bu Wati sambil memeluk anak-anaknya.
Begitu juga saat Pak Ramli jatuh sakit dan tak mampu bekerja, tiba-tiba kebunnya sudah dibersihkan dan siap tanam. Orang-orang mengira itu kerja malaikat. Tapi malam harinya, seorang anak kecil yang ingin buang air melihat beberapa pria dengan caping sedang mencabuti rumput di kebun Pak Ramli. Siapa lagi kalau bukan Matpluntang dan teman-temannya.
Namun Matpluntang tidak pernah membicarakan kebaikannya. Dia lebih suka tetap dikenal sebagai si jahil ketimbang si pahlawan. “Kalau orang tahu, nanti aku gak boleh jahil lagi,” begitu katanya sambil tertawa.
Hingga suatu hari, kejadian tak terduga menimpa desa. Sungai yang mengalir di dekat permukiman meluap karena hujan deras semalaman. Beberapa rumah terendam, dan warga panik.
Matpluntang adalah orang pertama yang melompat ke air. Ia menggendong anak-anak ke tempat aman, menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan, dan tak peduli bajunya basah kuyup.
Ketika malam tiba dan banjir mulai surut, warga berkumpul di balai desa. Saat itulah mereka sadar betapa besar peran Matpluntang. Bukan hanya hari itu, tapi selama ini. Diam-diam, satu per satu orang mulai bercerita.
“Waktu aku gak punya uang buat beli obat bapak, tiba-tiba ada amplop di bawah pintu,” kata Lina, anak SMA.
“Aku pernah jatuh pas panen, eh, tahu-tahu ada yang nganter ke rumah sakit dan bayarin semua. Kukira itu dari pemerintah,” sahut Pak Basri.
Semua cerita bermuara pada satu orang: Matpluntang.
Malam itu, desa seolah punya wajah baru dalam memandang pria itu. Bukan lagi sekadar si tukang jahil, tapi juga si penolong dalam diam.
Namun ketika semua orang hendak menemuinya untuk mengucap terima kasih, Matpluntang menghilang. Ia tak pulang ke rumah selama tiga hari. Warga cemas. Apakah dia marah karena mereka membongkar rahasianya?
Ternyata tidak.
Hari keempat, Matpluntang muncul dengan muka cerah dan bau tanah menyengat. Ia baru saja selesai memperbaiki tanggul sungai bersama beberapa petani dari desa sebelah.
“Aku kira udah diarak buat jadi pahlawan nasional,” candanya saat kembali.
Warga hanya bisa tertawa. Tapi sejak saat itu, Matpluntang tak lagi hanya dikenang karena kejahilannya. Ia dihormati karena ketulusannya, dicintai karena kebaikan yang tak diumbar.
Dan meski kejahilannya tetap berjalan seperti biasa, nomor HP palsu, ajakan ke kebun yang disamarkan sebagai wisata, atau mencoret sandal orang di masjid, tak ada yang marah. Semua sudah tahu, di balik wajah nakalnya itu, tersimpan hati yang lembut dan tangan yang ringan menolong.
Matpluntang tetaplah Matpluntang. Si jahil yang diam-diam menjadi pahlawan desa.
Ditulis oleh : Rapi, S.Pd. (Bendahara PC GP Ansor Bangka Selatan)